Peta Banjar Tiapi

Peta Banjar Tiapi

Rabu, 31 Maret 2010

Leteh dalam Konteks Keruangan

Leteh, cemer, kotor, dikonotasikan dengan situasi dan kondisi yang diduga atau dapat diduga tercemar sekala- niskala akibat terintervensinya ruang dan roang oleh elemen faktor-faktor negatif. Dampaknya memunculkan nuansa ruang yang bermuatan negatif dan berpengaruh terhadap suasana hati (resah), kepengapan rasa (gelisah), kesesakan (sumpek) bagi mereka yang memiliki komitmen moral yang sama (roang, komunitas). Kehidupan dengan pola pembiaran, menggampangkan dan permisivisme membuat tatanan hidup menjadi runyam, tanpa bentuk dan tanpa wajah yang jelas serta bermasalah. Bentuk tindakan serba seenaknya, semaunya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain adalah keluaran ( out come ) dari prilaku lingkungan permisivitas atas sikap masa bodoh masyarakat. Seperti membuang berbagai limbah sembarangan, pemanfaatan jalan umum tanpa memperhatikan rambu-rambu jalan, menyalahgunakan fasilitas dan utilitas milik pemerintah, membangun pondokan di tengah sawah dengan segala aktifitasnya, menjemur pakaian di sawah, sebaliknya menjemur padi di jalan dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya di tempat-tempat yang disepakati untuk disucikan, disakralkan seperti pura, dadia, ibu maupun tempat sembahyang keluarga (merajan,sanggah) menjadi berbagai jenis hunian. Kealpaan di mana kelompok remaja memanfaatkan “ momentum” berpacaran di saat digelar upacara atau persembahyangan bersama di pura, menggerayangi tempat-tempat pondokan darurat, rumah tenda petani pekerja di sawah-sawah, di mana mereka tahu bahwa tempat-tempat termaksud adalah domain yang patut disakralkan, sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan tradisi maupun masyarakat. Penataan ruang yang salah, khususnya menyangkut struktur ruang, peruntukan ruang dan pemanfaatannya, dapat terjadi intervensi ruang yang tidak rasional (menyangkut logika dan analisisnya) tidak realistik (tidak merencanakan kegiatan berdasar potensi yang dimiliki daerah) dan tidak praktis (tumpang tindih tidak berdasarkan obyektivitas sasaran). Akibat kesalahan dan kekeliruan terhadap penataan ruang dikaitkan dengan dinamika perkembangan masyarakat, kreatifitas imajinatif kehidupan masyarakat yang muncul dalam proses kehidupan berkecendrungan bersaing, menimbulkan berbagai konflik berkelanjutan. Perubahan pola tatanan budaya, tatanan kehidupan ekonomi, sosial, psikologi, sikap hidup yang sulit diantisipasi berkaitan dengan perubahan tata surya-alam semesta (zaman Kaliyuga). Ketidaksiapan masyarakat menghadapi benturan-benturan pergeseran budaya (tatanan dan pola hidup), perubahan stratifikasi sosial masyarakat yang bersifat vertikal maupun horizontal, menimbulkan berbagai konflik kejiwaan yang cukup serius berpengaruh terhadap sikap, perilaku, tindakan, lingkungan hidup dan sistem kehidupan. Bagi orang Bali khususnya yang beragama Hindu yang terikat pada: pola pembiasaan, pola taat azas dan taat hukum, pola kekakuan memegang prinsip, dan pola panutan, menghadapi perubahan dahsyat (turbelensi), tersentak (kamemegan, bangun kapupungan, grasa grusu), cemas, resah, gelisah karena takut terjadinya perubahan dan hilangnya kenyamanan hidup sehingga terjebak pada halusinasi kemapanan tanpa sadar bahwasanya telah terjadi perubahan yang sangat mendasar yang menggerus tatanan hidup kehidupan lahir bathin ke arah titik nadir. Mereka yang “ngeh” yang dalam kesehariannya, hidup mengikuti arus muncul-tenggelam selaras dengan gelombang kehidupan berusaha menyelamatkan diri dengan meniti buih. Sedangkan mereka yang takut kehilangan, takut kehabisan, takut tidak kebagian, takut keduluan, takut kehilangan perhatian mencari cara-cara kemudahan demi kepentingan pribadinya tanpa pertimbangan moralitas maupun perasaan sosial, mengorbankan nilai, harkat dan harga dirinya sehingga mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan dan dikorbankan demi segenggam harapan “kemapanan” nafsu serakahnya. Proses pertumbuhan dan perkembangan hidup tanpa landasan moral, hidup tanpa kemaluan, hidup jelas tanpa kejelasan, hidup tanpa kesadaran akan makna tujuan kehidupan yang mengajarkan bahwa setiap hentakan langkah pada suatu titik adalah persimpangan. Hidup dan kehidupan tanpa kewaspadaan terhadap trik-trik dan bayangan fatamorgana yang menjanjikan nikmat tanpa sadar dan kerja keras sesungguhnya merupakan wahana dan ruang yang berpotensi terjadinya kaletehan. Hidup tanpa logika, hidup yang tidak realistis dan hidup yang tidak praktis yang muncul sebagai akibat kesalahan, kekeliruan ataupun ketidakmampuan dan ketidakberdayaan membaca tanda-tanda alam, tanda-tanda zaman, merasa-rasakan, lanjut menganalisa dengan ketajaman rasa memberikan peluang terjadinya perilaku-perilaku menyimpang, berdampak pada terjadinya kaletehan di mana leteh merupakan hubungan sebab akibat dari pola kehidupan menyimpang dengan tendensi konflik dan bencana beserta ikutannya yang berkembang berdasarkan deret ukur melalui proses tanpa kendali – memaksa, memperkosa, bertindak terpaksa dengan kekerasan yang tidak jarang berakhir dengan saling bunuh. Untuk mencegah dampak “kaletehan” adalah meniadakan “leteh” dari berbagai aspeknya dengan mengubah persepsi substantif dan terminologi leteh melalui skenario planning, yakni merencanakan skenario baru yang adaptif,toleran terhadap perubahan--serta memiliki kemampuan system thinking, berpikir berdasarkan interaksi dan interelasi sub-sub sistem secara rasional dan realistis untuk mencapai tujuan. Artinya pola pikir orang Bali harus “diubah disesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana (Tri Ning Tri) di mana diharapkan dapat teraktualisasikan keselarasan dinamika perkembangan, bergerak dari suatu keseimbangan menuju keseimbangan baru yang lebih baik. Kita harus berubah, tahu mengapa harus berubah, tahu cara untuk berubah dan siap untuk hidup bersama perubahan, mampu menyikapi, menyiasati perubahan sehingga mendapatkan manfaat melalui upaya berbagi, berbeda tanpa membedakan, menguasai teknologi dan informasi menjadi pemikir kreatif, menumbuhkan keyakinan diri dan melejitkan kepekaan emosional. Yakinlah kaletehan akan tuntas apabila kita mampu menggantikan pertanyaan; m engapa menjadi, mengapa tidak, dan bagaimana caranya menjadi kerjakan. Kita harus berani berbeda dan hidup dalam perbedaan tanpa membeda-bedakan. Harus berfikir dalam ke-liar-an ketidakterbatasan --terbang bebas bagaikan rajawali. Leteh dan kaletehan sangat ditentukan cara kita berpikir, cara pandang yang kita anut dan sesungguhnya sangat relatif akibat dimasipkan justru menjadi persoalan dalam kehidupan, padahal kesemuanya dalam hidup ini adalah ‘peristiwa' yang akan hilang bersama pergeseran waktu. Mari kita berpikir secara berbeda, belajar hidup dalam perbedaan dan menemukan hakikat perbedaan. Mencatat suara dalam diri, merasa-rasakan emosi yang muncul pada setiap detak jantung masing-masing, bisikan hati dan naluri pencerahan jiwa dalam kesiapan menerima peluang mewujudkan kemungkinan dengan kemahardikaan. Untuk mencegah “leteh” sebagaimana dikonotasikan dan menjadi persepsi dalam memandang hidup baik buruk, perlu tahu arti dan makna leteh secara tepat, bermanfaat, paham akan dampak kaletehan terhadap buana agung dan buana alit, mampu menyikapi hidup dengan tindakan keteladanan, tidak melakukan hal-hal yang berkecenderungan leteh. Membangun konsep dengan kontruksi holistik untuk menjaga keseimbangan Bali sebagai sebuah pulau yang menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu negara kesatuan berbentuk Republik, berdasarkan hukum dengan cara meningkatkan daya tawar Bali dari berbagai aspeknya adalah keharusan. Hanya Bali Mandiri (bukan otonomi khusus tetapi otonomi teritorial yang fungsional) yang mampu menjaga Bali dari intervensi kaletehan yang datang dari dirinya maupun dari luar. Rasan Bali hanya dimiliki manusia Bali yang ber-kebalian. Karena leteh adalah menyangkut rasa dan perasaan maka penyelesaiannya adalah mengkaji ulang cara-cara berperasaan yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Dalam hal ini “ukuran” menjadi penting. Dan menjadi kewajiban bersama untuk mengubah dan menyepakati tentang rasa lan rumasa bukan raksa keraksasan. Semoga pikiran baik datang dari berbagai penjuru.

Mayat-Mayat tak Bertuan

Mayat-Mayat tak Bertuan
Leteh adalah sebentuk kelambanan menangkap sinyal zaman. Dan ia yang tidak membiarkan dirinya mengalir sejatinya dibekuk kaletehan sendiri.
Ini pengalaman seram dialami Nyoman Wiguna sepanjang Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Kisah ini bisa jadi berbau klenik, mengada-ada. Tapi begitulah yang diadapi pemuda kalem asal Desa Angantelu, Kecamatan Manggis, Karangasem. Sejak kecil Wiguna memang punya “kelainan” melihat sesuatu di alam lain, di mana tak banyak orang bisa melihan dan mengalami. Pada hari-hari tertentu, biasa menjelang hari kajeng kliwon Wiguna melihat sejumlah roh tengah gentayangan di Jalan Gatot Subroto, begitu juga di sejumlah jalan lain di Denpasar. Menurut Wiguna, roh-roh itu tampak menyedihkan, keadaannya sangat tersiksa, menjijikan, dengan luka borok di sekujur tubuh, dan patah tulang. Ada juga roh tak berkepala, tak bertangan, kedua mata keluar darah. Ada lagi roh wanita tengah menggendong bayi, menangis kehujanan, dengan pakaian kumal compang-camping, dari vagina keluar darah dan nanah. Tampak juga roh memanggil-manggil, meminta tolong, seperti menahan rasa lapar dan haus, jalannya pincang, mata picek sebelah. Apa sesungguhnya yang tengah dialami Nyoman Wiguna? Jujurkah pengalaman itu? Tidakah pemuda penghobi komputer ini mengalami halusinasi, atau mungkian mengalami semacam kegilaan? Psikologi ala Barat terang teramat susah menjelaskan hal ini. Jika pun terpaksa dijelaskan, Wiguna pasti disinyalir mengalami kelainan jiwa, disebut halusinasi. Tapi saat diwawancarai SARAD, Wiguna ternyata bukan penghobi klenik, apalagi penggemar cerita seram. Ia seorang cukup terpelajar, pencinta spiritual, penghobi komputer. Sebagai seorang yang hanya tamat diploma komputer, pengalaman Wiguna menyajikan simpul drama kekerasan kota yang kian sesak, padat dan centang perenang. Saat kota mengalami mobilitas tinggi, dijejali carut-marut masalah lalulitas, silang sengkarut problem sosial, ketersesakan hunian, kebisingan, dan rebutan lapangan kerja, tentu sangat terbuka terjadi kekerasan kota. Dalam kondisi seperti ini, kota lalu menjelma menjadi mesin pembunuh paling kejam. Betapa tidak, keteledoran berlalulintas misalnya, ditenggarai memakan banyak tumbal manusia. Belum lagi tumbal kejahatan, kekerasan, dan pembunuhan di sembarang tempat. Inilah problem kota paling modern sekaligus paling barbar. Stres akibat kebutuhan hidup susah dipenuhi adalah ciri dari penyakit ketersesakan hunian kota. Dan sebagai kota yang terbuka, Denpasar tengah diancam masalah krusial itu. Perang antar geng, perampokan, pembunuhan, pencurian, premanisme, kekumuhan, menunjukkan bara kekerasan kota tengah terjadi. Lalu, apa hubungan roh gentayangan dengan problem besar kota modern, sebagaimana dialami Nyoman Wiguna di Jalan Gatot Subroto? Menurutnya, roh gentayangan itu adalah roh mereka yang mati sia-sia di jalan. Pendeknya mati akibat kekerasan kota. Karenanya roh itu menjadi sangat menderita dan tersiksa. Mereka mati akibat kecelakaan lalulintas, dibunuh, dan diperkosa. Roh-roh ini minta dibebaskan, bila tidak, roh-roh ini pasti senantiasa menggangu, membuat cemar, membikin leteh wilayah. Ini tentu cara orang Bali merasakan ketidakharmonisan lingkungan, dalam bahasa orang Bali disebut leteh , setidaknya sebagaimana dialami pemuda I Nyoman Wiguna. Memang setiap yang diyakini membawa kemajuan terang memerlukan “tumbal.” Setiap pembangunan tentu membawa resiko. Silang-sengkarut lalulintas sebagai misal, diyakini merengut kurban sia-sia. Kebijakan trotoarisasi kota demi kebersihan beresiko memperbanyak ladang nyamuk. Dengan begitu memperbanyak kemungkinan orang kena demam berdarah, alias DB. Ini jelas suatu resiko, korban citra bernama kemajuan. Dan ini adalah “virus” yang secara perlahan pasti menggerogoti hari depan anak cucu. Dan secara perlahan pula a merusak kosmogoni orang Bali -- setidaknya mengacaukan cara pandang, bagaimana orang Bali memahami wilayah hunian yang terstruktur, teratur dalam bingkai tata nilai suci-leteh, ulu-teben, parahyangan- pawongan- palemahan , dan tata adab lainnya yang terbangun menjadi kosmogoni Bali. Sebagai desa dunia, Bali menghadapi problem begitu jelimet. Persoalannya tidak cuma menyangkut persoalan demografi, ekonomi, dan kebudayaan. Tapi problem ini menyangkut tata nilai orang Bali. Problem yang sesungguhnya jarang dihadapi generasi Bali di tahun 1970-an. Coba baca dan tengok media massa lima tahun belakangan ini. Berita orang tentang mati sia-sia betapa teramat banyak. Mulai dari bunuh diri, korban kecelakaan lalu-lintas, pembunuhan, pembuangan orok tak berdosa nyaris saban hari menghiasi pemberitaan media massa di Bali. Lebih tragis tentu ditemukannya mayat-mayat tak bertuan, sebagaimana gencar diberitakan koran lokal minggu ini. Ada yang tergelatak di sebuah got, membusuk di sebuah ladang, terhanyut di sungai, terkapar di pinggir jalan, orok terbuang, terbungkus tas plastik di tempat sampah, jenazah membusuk di kamar hotel, terbunuh perampok, begitu seterusnya. Dan ini terus-menerus “meneror” tata adab orang Bali. Berhadapan dengan problem ini, Bali sebetulnya bukan mosaik yang bisa memberi ekstase lagi – di mana para pendatang terinspirasi keadaban dan kesantunan hidup. Begitu juga orang tak lagi mudah terinspirasi keindahan alam, karena betapa alam Bali kini tak lagi nyaman lestari. Di sana-sisi ia memperlihatkan kebopengan, pertanda begitu kemaruknya manusia. Di Denpasar misalnya, di tengah mall-mall dan swalayan berbau harum, gedung-gedung bank nan megah, di keriuahan pasar tradisonal pengap berbau apek, di jalan-jalan mulus beraspal hotmix -- dalam kenyataan tanpa sadar menjadi ladang penyaliban teramat dingin. Tingginya angka kematiann sia-sia, baik menyangkut angka bunuh diri, kecelakaan lululintas, dan pembunuhan, membuktikan Bali sulit menghindar dari penyebutan ladang penyaliban. Adakah “api durga” Bali kini tengah melakukan pembersihan? Jawabnya, terserah seperti apa Anda memaknai tanda-tanda itu. Persoalan kini, apa yang mesti dibaca dari fenomena itu? Energi apa sesungguhnya tengah memporanda Bali kini? Memang betapa susah untuk disimpulkan, terkecuali harus dimuarakan bahwa Bali kini telah begitu sesak, campur aduk. Menistakan persoalan hulu, dengan mengutamakan persoalan hilir. Intinya, pulau ini telah diadapkan pada suatau kenyataan tentang betapa kerasnya hidup di Bali, alih-alih berebut hidup di kota sesak bernama Denpasar. Teramat sayang juga kenapa para cerdik pandai, para sulinggih, dan para agamawan tak pernah mau membaca tanta-tanda ini. Mereka semua terpenjara formalisme agama, terperangkap teks, terperangkap upacara megah, dan terpesona mantra deklamasi kering pemaknaan. Apabila di sana-sini tercecer mayat tak bertuan, leteh- kah Bali karenanya? Jika pada musim panen sawah-sawah Bali penuh bedeng pekerja luar, cemarkah Bali karenanya? Bila kompleks perumahan menjamur di desa pakraman, bertumbuh subur di wilayah abu-abu, kotorkah Bali karenanya? Ini adalah sejumlah pertanyaan yang seharusnya diarahkan pada keparcayaan orang Bali -- yang konon memegang prinsip tri hita karana -- yakni pada keniscayaan, di mana Bali diyakini sebagai pulau suci dan tersucikan. Karenanya hal-hal yang nungkalik , berseberangan dengan tata adab orang Bali dianggap memantik keletehan atau keadaan tidak suci. Setidaknya begitulah pandangan orang Bali pada umumnya. Dan sampai kini pun tetap demikian adanya. Siapa lalu yang bertanggung jawab pada kondisi Bali sedemikian rupa? Ya masyarakat Bali sendiri, terang. Tapi mengeluh, menggerutu dikemudian tak ada faedah, jelas. Yang ideal betapa elok bila dalam mengadapi modernitas, sejak awal dipersiapkan suprastruktur, mentalitas dan daya budi masyarakat. Sayang, Bali kebobolan dalam hal ini, telat menangkap tanda-tanda zaman, istilah Bali sepanan tangkis . Sebagai misal, bagaimana memandang leteh tidak leteh dalam kehidupan orang Bali yang kian heterogen. Sebagai pusat desa dunia Bali terang berhadapan dengan koneksitas, keterhubungan dengan berbagai ras manusia dunia – yang tentu beda cara pandang dan pola pikir. Berbagai ras, suku, agama berbaur padu di Bali – tentu dengan berbagai kepentingan dan misi hidup. Orang suci, yogin, pebisnis, akademisi, pelacur, teroris, pengemis, mapia dan penjahat pasti senantiasa berbaur di pulau ini. Justru di sini, dalam konteks keterhubungan Bali tersebut, orang Bali perlu memaknai ulang tata keadabannya -- mereka-ulang cara pandang dalam pemahaman dan pemaknaan lebih baru, lebih segar sesuai semangat zaman. Artinya, mengadapi perubahan yang begitu cepat, Bali memerlukan kesepakatan-kesepatakan baru. Hal ini akan memupus keraguan bagi setiap orang atau lembaga dalam mengambil kebijakan. Menyelamatkan Bali dalam konteks di mana ia bisa bertahan menghadapai gempuran perubahan, tentu tidak harus diartikan sama tak ubah mempertahankan warisan fisik. Atau dengan pola pikir lama yang sempit, semisal dengan mantra usang bernama ajeg Bali. Cara-cara ini boleh jadi memicu kotrawacana, karena dengan sendirinya mengempang aliran peradaban. Bali adalah spirit yang mengalir dan mengalir terus. Sejak zaman purba “tanah peradabannya” terbangun dari serapan beragam kanal budaya. Dari aliran ini pula pola pikir dan tata keadaban orang Bali berkembang dengan tetap melahirkan geokultural dan geospiritual khas, termasuk pula perihal pandangan suci-leteh . Tata adab zaman Bali Kuna tentu berbeda dengan zaman Mpu Kuturan, tentu berbeda pula dengan zaman Dang Hyang Nirartha – dan setiap kebijakan pasti sempurna pada zamannya. Persoalannya sekarang, manakala Bali tidak lagi memiliki simpul pengintegrasi, seperti apa kemudian daya serap alamih itu layak diandalkan supaya Bali senantiasa mendapat nutrisi sehat demi pertumbuhan daya hidup kebudayaannya? Sekali lagi, dalam konteks “republik pulau” Bali mesti mempunyai kesepakatan baru, pola pikir, dan cara pandang baru. Penekun adat dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, I Wayan P. Windia, menamainya strategi itu sebagai “Bali mawa cara,” kesepakatan tunggal yang menjadi payung tunggal dalam setiap penentuan kebijakan berskala Bali. Tapi payung tunggal ini tak hendak diniatkan untuk mengganti, mengubah “desa mawa cara” tingkat desa, yang sejak zaman dulu dimiliki desa-desa Bali. Jelas tiap desa di Bali adalah satu kesatuan “republik-desa” di mana dia memiliki kesepatakan-kesepatan tunggal dalam lingkup republik-desa tersendiri. Peneliti adat Bali, Dr V.E. Korn, telah sejak awal mengungkap hal ini. Ia misalnya menyebut Desa Tenganan Pagringsingan sebagai “Dorps republiek.” Sebagai republik desa, Tenganan memang mempunyai konstitusi tersendiri dan berotonomi, layaknya negara miniatur. Boleh jadi sebagaimana lontaran Wayan P. Windia Bali betapa mendesak menandatangani traktat kebudayaan besar disebut “desa mawa cara.” Dari traktat inilah kemudian dibangun peradaban Bali baru, perihal bagaimana ia mengatur stratetegi, memposisikan diri dalam arus besar pusaran perubahan dunia. Kesepakatan-kesepakatan baru itu tentu tidak saja menyangkut aturan politik demografi, tata ruang kealaman, pengelolahan sumber potensi alam, kebijakan ekonomi, pendidikan, tata hubungan dengan negara, namun di luar itu termasuk juga kesepakatan baru perihal tata nilai hidup masyarakat – pembaruan tata keagamaan dan tata keadaban. Dan dalam arus besar ini seeloknya tata nilai suci-leteh dimakanai baru, setidaknya diatur ulang – atau jika dipertahanan mesti rela menanggung sejumlah resiko. Apa resiko paling besar jika Bali tidak di- redesign ulang? Terlalu panjang bila harus dijabarkan. Jawaban paling ringkas: Bali susah melakukan lompatan dalam segala bidang kehidupan. Kemandegan terjadi karena Bali begitu luruh, terpesona dengan inprastruktur dan suprastruktur lama – sedangkan dunia, pengetahuan, dan capaian spiritual bergerak terus. Ibarat mengarungi samudra luas, orang tak mungkin menyeberang hanya dengan berenang. Perlu kapal andal untuk sampai ketujuan. Perlu energi besar mengwujudkan harapan. Dari kondisi ini bisa disimpulkan, kaletehan atau ketidaksucian tidak terletak pada wilayah fisik. Leteh justru berada karena orang tidak mau bergerak, mengembang, mengambil inisiatif, memperbaiki keadaan. Leteh adalah sebentuk kelambanan menangkap sinyal zaman. Dan ia yang tidak membiarkan dirinya mengalir sejatinya terperangkap kaletehan sendiri.

Sekilas Tentang Pulau Bali

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.

Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

Bali Ceremoni 1936


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Urban Designs