Leteh, cemer, kotor, dikonotasikan dengan situasi dan kondisi yang diduga atau dapat diduga tercemar sekala- niskala akibat terintervensinya ruang dan roang oleh elemen faktor-faktor negatif. Dampaknya memunculkan nuansa ruang yang bermuatan negatif dan berpengaruh terhadap suasana hati (resah), kepengapan rasa (gelisah), kesesakan (sumpek) bagi mereka yang memiliki komitmen moral yang sama (roang, komunitas). Kehidupan dengan pola pembiaran, menggampangkan dan permisivisme membuat tatanan hidup menjadi runyam, tanpa bentuk dan tanpa wajah yang jelas serta bermasalah. Bentuk tindakan serba seenaknya, semaunya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain adalah keluaran ( out come ) dari prilaku lingkungan permisivitas atas sikap masa bodoh masyarakat. Seperti membuang berbagai limbah sembarangan, pemanfaatan jalan umum tanpa memperhatikan rambu-rambu jalan, menyalahgunakan fasilitas dan utilitas milik pemerintah, membangun pondokan di tengah sawah dengan segala aktifitasnya, menjemur pakaian di sawah, sebaliknya menjemur padi di jalan dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya di tempat-tempat yang disepakati untuk disucikan, disakralkan seperti pura, dadia, ibu maupun tempat sembahyang keluarga (merajan,sanggah) menjadi berbagai jenis hunian. Kealpaan di mana kelompok remaja memanfaatkan “ momentum” berpacaran di saat digelar upacara atau persembahyangan bersama di pura, menggerayangi tempat-tempat pondokan darurat, rumah tenda petani pekerja di sawah-sawah, di mana mereka tahu bahwa tempat-tempat termaksud adalah domain yang patut disakralkan, sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan tradisi maupun masyarakat. Penataan ruang yang salah, khususnya menyangkut struktur ruang, peruntukan ruang dan pemanfaatannya, dapat terjadi intervensi ruang yang tidak rasional (menyangkut logika dan analisisnya) tidak realistik (tidak merencanakan kegiatan berdasar potensi yang dimiliki daerah) dan tidak praktis (tumpang tindih tidak berdasarkan obyektivitas sasaran). Akibat kesalahan dan kekeliruan terhadap penataan ruang dikaitkan dengan dinamika perkembangan masyarakat, kreatifitas imajinatif kehidupan masyarakat yang muncul dalam proses kehidupan berkecendrungan bersaing, menimbulkan berbagai konflik berkelanjutan. Perubahan pola tatanan budaya, tatanan kehidupan ekonomi, sosial, psikologi, sikap hidup yang sulit diantisipasi berkaitan dengan perubahan tata surya-alam semesta (zaman Kaliyuga). Ketidaksiapan masyarakat menghadapi benturan-benturan pergeseran budaya (tatanan dan pola hidup), perubahan stratifikasi sosial masyarakat yang bersifat vertikal maupun horizontal, menimbulkan berbagai konflik kejiwaan yang cukup serius berpengaruh terhadap sikap, perilaku, tindakan, lingkungan hidup dan sistem kehidupan. Bagi orang Bali khususnya yang beragama Hindu yang terikat pada: pola pembiasaan, pola taat azas dan taat hukum, pola kekakuan memegang prinsip, dan pola panutan, menghadapi perubahan dahsyat (turbelensi), tersentak (kamemegan, bangun kapupungan, grasa grusu), cemas, resah, gelisah karena takut terjadinya perubahan dan hilangnya kenyamanan hidup sehingga terjebak pada halusinasi kemapanan tanpa sadar bahwasanya telah terjadi perubahan yang sangat mendasar yang menggerus tatanan hidup kehidupan lahir bathin ke arah titik nadir. Mereka yang “ngeh” yang dalam kesehariannya, hidup mengikuti arus muncul-tenggelam selaras dengan gelombang kehidupan berusaha menyelamatkan diri dengan meniti buih. Sedangkan mereka yang takut kehilangan, takut kehabisan, takut tidak kebagian, takut keduluan, takut kehilangan perhatian mencari cara-cara kemudahan demi kepentingan pribadinya tanpa pertimbangan moralitas maupun perasaan sosial, mengorbankan nilai, harkat dan harga dirinya sehingga mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan dan dikorbankan demi segenggam harapan “kemapanan” nafsu serakahnya. Proses pertumbuhan dan perkembangan hidup tanpa landasan moral, hidup tanpa kemaluan, hidup jelas tanpa kejelasan, hidup tanpa kesadaran akan makna tujuan kehidupan yang mengajarkan bahwa setiap hentakan langkah pada suatu titik adalah persimpangan. Hidup dan kehidupan tanpa kewaspadaan terhadap trik-trik dan bayangan fatamorgana yang menjanjikan nikmat tanpa sadar dan kerja keras sesungguhnya merupakan wahana dan ruang yang berpotensi terjadinya kaletehan. Hidup tanpa logika, hidup yang tidak realistis dan hidup yang tidak praktis yang muncul sebagai akibat kesalahan, kekeliruan ataupun ketidakmampuan dan ketidakberdayaan membaca tanda-tanda alam, tanda-tanda zaman, merasa-rasakan, lanjut menganalisa dengan ketajaman rasa memberikan peluang terjadinya perilaku-perilaku menyimpang, berdampak pada terjadinya kaletehan di mana leteh merupakan hubungan sebab akibat dari pola kehidupan menyimpang dengan tendensi konflik dan bencana beserta ikutannya yang berkembang berdasarkan deret ukur melalui proses tanpa kendali – memaksa, memperkosa, bertindak terpaksa dengan kekerasan yang tidak jarang berakhir dengan saling bunuh. Untuk mencegah dampak “kaletehan” adalah meniadakan “leteh” dari berbagai aspeknya dengan mengubah persepsi substantif dan terminologi leteh melalui skenario planning, yakni merencanakan skenario baru yang adaptif,toleran terhadap perubahan--serta memiliki kemampuan system thinking, berpikir berdasarkan interaksi dan interelasi sub-sub sistem secara rasional dan realistis untuk mencapai tujuan. Artinya pola pikir orang Bali harus “diubah disesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana (Tri Ning Tri) di mana diharapkan dapat teraktualisasikan keselarasan dinamika perkembangan, bergerak dari suatu keseimbangan menuju keseimbangan baru yang lebih baik. Kita harus berubah, tahu mengapa harus berubah, tahu cara untuk berubah dan siap untuk hidup bersama perubahan, mampu menyikapi, menyiasati perubahan sehingga mendapatkan manfaat melalui upaya berbagi, berbeda tanpa membedakan, menguasai teknologi dan informasi menjadi pemikir kreatif, menumbuhkan keyakinan diri dan melejitkan kepekaan emosional. Yakinlah kaletehan akan tuntas apabila kita mampu menggantikan pertanyaan; m engapa menjadi, mengapa tidak, dan bagaimana caranya menjadi kerjakan. Kita harus berani berbeda dan hidup dalam perbedaan tanpa membeda-bedakan. Harus berfikir dalam ke-liar-an ketidakterbatasan --terbang bebas bagaikan rajawali. Leteh dan kaletehan sangat ditentukan cara kita berpikir, cara pandang yang kita anut dan sesungguhnya sangat relatif akibat dimasipkan justru menjadi persoalan dalam kehidupan, padahal kesemuanya dalam hidup ini adalah ‘peristiwa' yang akan hilang bersama pergeseran waktu. Mari kita berpikir secara berbeda, belajar hidup dalam perbedaan dan menemukan hakikat perbedaan. Mencatat suara dalam diri, merasa-rasakan emosi yang muncul pada setiap detak jantung masing-masing, bisikan hati dan naluri pencerahan jiwa dalam kesiapan menerima peluang mewujudkan kemungkinan dengan kemahardikaan. Untuk mencegah “leteh” sebagaimana dikonotasikan dan menjadi persepsi dalam memandang hidup baik buruk, perlu tahu arti dan makna leteh secara tepat, bermanfaat, paham akan dampak kaletehan terhadap buana agung dan buana alit, mampu menyikapi hidup dengan tindakan keteladanan, tidak melakukan hal-hal yang berkecenderungan leteh. Membangun konsep dengan kontruksi holistik untuk menjaga keseimbangan Bali sebagai sebuah pulau yang menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu negara kesatuan berbentuk Republik, berdasarkan hukum dengan cara meningkatkan daya tawar Bali dari berbagai aspeknya adalah keharusan. Hanya Bali Mandiri (bukan otonomi khusus tetapi otonomi teritorial yang fungsional) yang mampu menjaga Bali dari intervensi kaletehan yang datang dari dirinya maupun dari luar. Rasan Bali hanya dimiliki manusia Bali yang ber-kebalian. Karena leteh adalah menyangkut rasa dan perasaan maka penyelesaiannya adalah mengkaji ulang cara-cara berperasaan yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Dalam hal ini “ukuran” menjadi penting. Dan menjadi kewajiban bersama untuk mengubah dan menyepakati tentang rasa lan rumasa bukan raksa keraksasan. Semoga pikiran baik datang dari berbagai penjuru.
Peta Banjar Tiapi
Rabu, 31 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Leteh dalam Konteks Keruangan”
Posting Komentar