Peta Banjar Tiapi

Peta Banjar Tiapi

Rabu, 31 Maret 2010

Mayat-Mayat tak Bertuan

Mayat-Mayat tak Bertuan
Leteh adalah sebentuk kelambanan menangkap sinyal zaman. Dan ia yang tidak membiarkan dirinya mengalir sejatinya dibekuk kaletehan sendiri.
Ini pengalaman seram dialami Nyoman Wiguna sepanjang Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Kisah ini bisa jadi berbau klenik, mengada-ada. Tapi begitulah yang diadapi pemuda kalem asal Desa Angantelu, Kecamatan Manggis, Karangasem. Sejak kecil Wiguna memang punya “kelainan” melihat sesuatu di alam lain, di mana tak banyak orang bisa melihan dan mengalami. Pada hari-hari tertentu, biasa menjelang hari kajeng kliwon Wiguna melihat sejumlah roh tengah gentayangan di Jalan Gatot Subroto, begitu juga di sejumlah jalan lain di Denpasar. Menurut Wiguna, roh-roh itu tampak menyedihkan, keadaannya sangat tersiksa, menjijikan, dengan luka borok di sekujur tubuh, dan patah tulang. Ada juga roh tak berkepala, tak bertangan, kedua mata keluar darah. Ada lagi roh wanita tengah menggendong bayi, menangis kehujanan, dengan pakaian kumal compang-camping, dari vagina keluar darah dan nanah. Tampak juga roh memanggil-manggil, meminta tolong, seperti menahan rasa lapar dan haus, jalannya pincang, mata picek sebelah. Apa sesungguhnya yang tengah dialami Nyoman Wiguna? Jujurkah pengalaman itu? Tidakah pemuda penghobi komputer ini mengalami halusinasi, atau mungkian mengalami semacam kegilaan? Psikologi ala Barat terang teramat susah menjelaskan hal ini. Jika pun terpaksa dijelaskan, Wiguna pasti disinyalir mengalami kelainan jiwa, disebut halusinasi. Tapi saat diwawancarai SARAD, Wiguna ternyata bukan penghobi klenik, apalagi penggemar cerita seram. Ia seorang cukup terpelajar, pencinta spiritual, penghobi komputer. Sebagai seorang yang hanya tamat diploma komputer, pengalaman Wiguna menyajikan simpul drama kekerasan kota yang kian sesak, padat dan centang perenang. Saat kota mengalami mobilitas tinggi, dijejali carut-marut masalah lalulitas, silang sengkarut problem sosial, ketersesakan hunian, kebisingan, dan rebutan lapangan kerja, tentu sangat terbuka terjadi kekerasan kota. Dalam kondisi seperti ini, kota lalu menjelma menjadi mesin pembunuh paling kejam. Betapa tidak, keteledoran berlalulintas misalnya, ditenggarai memakan banyak tumbal manusia. Belum lagi tumbal kejahatan, kekerasan, dan pembunuhan di sembarang tempat. Inilah problem kota paling modern sekaligus paling barbar. Stres akibat kebutuhan hidup susah dipenuhi adalah ciri dari penyakit ketersesakan hunian kota. Dan sebagai kota yang terbuka, Denpasar tengah diancam masalah krusial itu. Perang antar geng, perampokan, pembunuhan, pencurian, premanisme, kekumuhan, menunjukkan bara kekerasan kota tengah terjadi. Lalu, apa hubungan roh gentayangan dengan problem besar kota modern, sebagaimana dialami Nyoman Wiguna di Jalan Gatot Subroto? Menurutnya, roh gentayangan itu adalah roh mereka yang mati sia-sia di jalan. Pendeknya mati akibat kekerasan kota. Karenanya roh itu menjadi sangat menderita dan tersiksa. Mereka mati akibat kecelakaan lalulintas, dibunuh, dan diperkosa. Roh-roh ini minta dibebaskan, bila tidak, roh-roh ini pasti senantiasa menggangu, membuat cemar, membikin leteh wilayah. Ini tentu cara orang Bali merasakan ketidakharmonisan lingkungan, dalam bahasa orang Bali disebut leteh , setidaknya sebagaimana dialami pemuda I Nyoman Wiguna. Memang setiap yang diyakini membawa kemajuan terang memerlukan “tumbal.” Setiap pembangunan tentu membawa resiko. Silang-sengkarut lalulintas sebagai misal, diyakini merengut kurban sia-sia. Kebijakan trotoarisasi kota demi kebersihan beresiko memperbanyak ladang nyamuk. Dengan begitu memperbanyak kemungkinan orang kena demam berdarah, alias DB. Ini jelas suatu resiko, korban citra bernama kemajuan. Dan ini adalah “virus” yang secara perlahan pasti menggerogoti hari depan anak cucu. Dan secara perlahan pula a merusak kosmogoni orang Bali -- setidaknya mengacaukan cara pandang, bagaimana orang Bali memahami wilayah hunian yang terstruktur, teratur dalam bingkai tata nilai suci-leteh, ulu-teben, parahyangan- pawongan- palemahan , dan tata adab lainnya yang terbangun menjadi kosmogoni Bali. Sebagai desa dunia, Bali menghadapi problem begitu jelimet. Persoalannya tidak cuma menyangkut persoalan demografi, ekonomi, dan kebudayaan. Tapi problem ini menyangkut tata nilai orang Bali. Problem yang sesungguhnya jarang dihadapi generasi Bali di tahun 1970-an. Coba baca dan tengok media massa lima tahun belakangan ini. Berita orang tentang mati sia-sia betapa teramat banyak. Mulai dari bunuh diri, korban kecelakaan lalu-lintas, pembunuhan, pembuangan orok tak berdosa nyaris saban hari menghiasi pemberitaan media massa di Bali. Lebih tragis tentu ditemukannya mayat-mayat tak bertuan, sebagaimana gencar diberitakan koran lokal minggu ini. Ada yang tergelatak di sebuah got, membusuk di sebuah ladang, terhanyut di sungai, terkapar di pinggir jalan, orok terbuang, terbungkus tas plastik di tempat sampah, jenazah membusuk di kamar hotel, terbunuh perampok, begitu seterusnya. Dan ini terus-menerus “meneror” tata adab orang Bali. Berhadapan dengan problem ini, Bali sebetulnya bukan mosaik yang bisa memberi ekstase lagi – di mana para pendatang terinspirasi keadaban dan kesantunan hidup. Begitu juga orang tak lagi mudah terinspirasi keindahan alam, karena betapa alam Bali kini tak lagi nyaman lestari. Di sana-sisi ia memperlihatkan kebopengan, pertanda begitu kemaruknya manusia. Di Denpasar misalnya, di tengah mall-mall dan swalayan berbau harum, gedung-gedung bank nan megah, di keriuahan pasar tradisonal pengap berbau apek, di jalan-jalan mulus beraspal hotmix -- dalam kenyataan tanpa sadar menjadi ladang penyaliban teramat dingin. Tingginya angka kematiann sia-sia, baik menyangkut angka bunuh diri, kecelakaan lululintas, dan pembunuhan, membuktikan Bali sulit menghindar dari penyebutan ladang penyaliban. Adakah “api durga” Bali kini tengah melakukan pembersihan? Jawabnya, terserah seperti apa Anda memaknai tanda-tanda itu. Persoalan kini, apa yang mesti dibaca dari fenomena itu? Energi apa sesungguhnya tengah memporanda Bali kini? Memang betapa susah untuk disimpulkan, terkecuali harus dimuarakan bahwa Bali kini telah begitu sesak, campur aduk. Menistakan persoalan hulu, dengan mengutamakan persoalan hilir. Intinya, pulau ini telah diadapkan pada suatau kenyataan tentang betapa kerasnya hidup di Bali, alih-alih berebut hidup di kota sesak bernama Denpasar. Teramat sayang juga kenapa para cerdik pandai, para sulinggih, dan para agamawan tak pernah mau membaca tanta-tanda ini. Mereka semua terpenjara formalisme agama, terperangkap teks, terperangkap upacara megah, dan terpesona mantra deklamasi kering pemaknaan. Apabila di sana-sini tercecer mayat tak bertuan, leteh- kah Bali karenanya? Jika pada musim panen sawah-sawah Bali penuh bedeng pekerja luar, cemarkah Bali karenanya? Bila kompleks perumahan menjamur di desa pakraman, bertumbuh subur di wilayah abu-abu, kotorkah Bali karenanya? Ini adalah sejumlah pertanyaan yang seharusnya diarahkan pada keparcayaan orang Bali -- yang konon memegang prinsip tri hita karana -- yakni pada keniscayaan, di mana Bali diyakini sebagai pulau suci dan tersucikan. Karenanya hal-hal yang nungkalik , berseberangan dengan tata adab orang Bali dianggap memantik keletehan atau keadaan tidak suci. Setidaknya begitulah pandangan orang Bali pada umumnya. Dan sampai kini pun tetap demikian adanya. Siapa lalu yang bertanggung jawab pada kondisi Bali sedemikian rupa? Ya masyarakat Bali sendiri, terang. Tapi mengeluh, menggerutu dikemudian tak ada faedah, jelas. Yang ideal betapa elok bila dalam mengadapi modernitas, sejak awal dipersiapkan suprastruktur, mentalitas dan daya budi masyarakat. Sayang, Bali kebobolan dalam hal ini, telat menangkap tanda-tanda zaman, istilah Bali sepanan tangkis . Sebagai misal, bagaimana memandang leteh tidak leteh dalam kehidupan orang Bali yang kian heterogen. Sebagai pusat desa dunia Bali terang berhadapan dengan koneksitas, keterhubungan dengan berbagai ras manusia dunia – yang tentu beda cara pandang dan pola pikir. Berbagai ras, suku, agama berbaur padu di Bali – tentu dengan berbagai kepentingan dan misi hidup. Orang suci, yogin, pebisnis, akademisi, pelacur, teroris, pengemis, mapia dan penjahat pasti senantiasa berbaur di pulau ini. Justru di sini, dalam konteks keterhubungan Bali tersebut, orang Bali perlu memaknai ulang tata keadabannya -- mereka-ulang cara pandang dalam pemahaman dan pemaknaan lebih baru, lebih segar sesuai semangat zaman. Artinya, mengadapi perubahan yang begitu cepat, Bali memerlukan kesepakatan-kesepatakan baru. Hal ini akan memupus keraguan bagi setiap orang atau lembaga dalam mengambil kebijakan. Menyelamatkan Bali dalam konteks di mana ia bisa bertahan menghadapai gempuran perubahan, tentu tidak harus diartikan sama tak ubah mempertahankan warisan fisik. Atau dengan pola pikir lama yang sempit, semisal dengan mantra usang bernama ajeg Bali. Cara-cara ini boleh jadi memicu kotrawacana, karena dengan sendirinya mengempang aliran peradaban. Bali adalah spirit yang mengalir dan mengalir terus. Sejak zaman purba “tanah peradabannya” terbangun dari serapan beragam kanal budaya. Dari aliran ini pula pola pikir dan tata keadaban orang Bali berkembang dengan tetap melahirkan geokultural dan geospiritual khas, termasuk pula perihal pandangan suci-leteh . Tata adab zaman Bali Kuna tentu berbeda dengan zaman Mpu Kuturan, tentu berbeda pula dengan zaman Dang Hyang Nirartha – dan setiap kebijakan pasti sempurna pada zamannya. Persoalannya sekarang, manakala Bali tidak lagi memiliki simpul pengintegrasi, seperti apa kemudian daya serap alamih itu layak diandalkan supaya Bali senantiasa mendapat nutrisi sehat demi pertumbuhan daya hidup kebudayaannya? Sekali lagi, dalam konteks “republik pulau” Bali mesti mempunyai kesepakatan baru, pola pikir, dan cara pandang baru. Penekun adat dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, I Wayan P. Windia, menamainya strategi itu sebagai “Bali mawa cara,” kesepakatan tunggal yang menjadi payung tunggal dalam setiap penentuan kebijakan berskala Bali. Tapi payung tunggal ini tak hendak diniatkan untuk mengganti, mengubah “desa mawa cara” tingkat desa, yang sejak zaman dulu dimiliki desa-desa Bali. Jelas tiap desa di Bali adalah satu kesatuan “republik-desa” di mana dia memiliki kesepatakan-kesepatan tunggal dalam lingkup republik-desa tersendiri. Peneliti adat Bali, Dr V.E. Korn, telah sejak awal mengungkap hal ini. Ia misalnya menyebut Desa Tenganan Pagringsingan sebagai “Dorps republiek.” Sebagai republik desa, Tenganan memang mempunyai konstitusi tersendiri dan berotonomi, layaknya negara miniatur. Boleh jadi sebagaimana lontaran Wayan P. Windia Bali betapa mendesak menandatangani traktat kebudayaan besar disebut “desa mawa cara.” Dari traktat inilah kemudian dibangun peradaban Bali baru, perihal bagaimana ia mengatur stratetegi, memposisikan diri dalam arus besar pusaran perubahan dunia. Kesepakatan-kesepakatan baru itu tentu tidak saja menyangkut aturan politik demografi, tata ruang kealaman, pengelolahan sumber potensi alam, kebijakan ekonomi, pendidikan, tata hubungan dengan negara, namun di luar itu termasuk juga kesepakatan baru perihal tata nilai hidup masyarakat – pembaruan tata keagamaan dan tata keadaban. Dan dalam arus besar ini seeloknya tata nilai suci-leteh dimakanai baru, setidaknya diatur ulang – atau jika dipertahanan mesti rela menanggung sejumlah resiko. Apa resiko paling besar jika Bali tidak di- redesign ulang? Terlalu panjang bila harus dijabarkan. Jawaban paling ringkas: Bali susah melakukan lompatan dalam segala bidang kehidupan. Kemandegan terjadi karena Bali begitu luruh, terpesona dengan inprastruktur dan suprastruktur lama – sedangkan dunia, pengetahuan, dan capaian spiritual bergerak terus. Ibarat mengarungi samudra luas, orang tak mungkin menyeberang hanya dengan berenang. Perlu kapal andal untuk sampai ketujuan. Perlu energi besar mengwujudkan harapan. Dari kondisi ini bisa disimpulkan, kaletehan atau ketidaksucian tidak terletak pada wilayah fisik. Leteh justru berada karena orang tidak mau bergerak, mengembang, mengambil inisiatif, memperbaiki keadaan. Leteh adalah sebentuk kelambanan menangkap sinyal zaman. Dan ia yang tidak membiarkan dirinya mengalir sejatinya terperangkap kaletehan sendiri.

Comments :

0 comments to “Mayat-Mayat tak Bertuan”

Posting Komentar

Bali Ceremoni 1936


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Urban Designs