Peta Banjar Tiapi

Peta Banjar Tiapi

Selasa, 06 April 2010

Kisah Dua Burung Atat

Dalam benak yang keruh tidak mungkin ada kebeningan. Pada hati yang keji tidak mungkin ada olas asih. Karenanya kalbu ini perlu dibersihkan, dirawat senantiasa.

Dari mana kejahatan dan kelahiran bermula? Kenapa dunia ini dipenuhi aneka perangai yang saling mengancam, serta-merta mendominasi tabiat setiap orang?
Nyatanya dunia dipenuhi beraneka kejahatan, keculasan, kedengkian, kemarahan. Namun demikian, di antara tabiat buruk itu, tak sedikit mereka yang baik budi, penyabar, jujur, lurus hati, peramah, penolong yang senantiasa hirau derita orang lain. Tentu ada seribu satu tabiat berbeda di dunia ini, ada banyak alasan kenapa orang bisa berbuat jahat.
Lalu dari mana gerangan muasal perangai yang beraneka itu? Adakah ia “diciptakan” semata menunjukkan bahwa, begitulah realitas hidup yang ada. Kegembiraan senantiasa berdampingan dengan kesedihan, rasa bahagia selalu dibuntuti perasaan was-was, ketakutan, serta kegelisahan. Dan hidup menjadi serba tak menentu. Tak jarang yang pintar memperdaya yang bodoh, yang kuat memperalat yang lemah. Sejatinya adakah hidup memang ditandaskan begitu adanya, lengkap, penuh hiruk-pikuk, intrik, olas-asih, derma, dan kejujuran. Semua itu pasti berguna, berfaedah bahwa, hidup ini tidak sedatar dibayangkan orang.
Para ahli ilmu jiwa, dan juga kaum agamawan menilai hidup ini sebermula netral adanya, ibarat kertas putih tanpa coretan. Dan setiap jabang bayi yang lahir ke bumi dianggap sebagai kertas putih. Persoalanya, dalam perjalanan hidup kemudian, saat mana bayi makin bertumbuh dan berkembang, kertas putih itu pun mulai penuh coretan pengalaman yang melekat di memori—sudah tentu pengalaman yang menumpuk pada memori itu dipenuhi sejumlah kondisi. Ada pengalaman jelek maupun pengalaman baik. Jika pengalaman baik dominan menumpuk di benak, tak mustahil kebaikan melingkupi hati seseorang, begitu pula sebaliknya.
Pada awalnya semua kelahiran mulia adanya. Kehidupan, pengalaman, dan pengajaran membuat orang cenderung menumbuhkan tabiat berbeda. Watak pendendam, suka marah konon pada awalnya muncul karena ada tekanan rasa takut, dan rasa takut muncul dari kebodohan. Kelak ceritra-ceritra dari Panca Tantra melukiskan dengan indah bagaimana karakter yang berbeda itu bisa terbentuk. Hal kisah dua ekor burung kakak tua, sejak bayi ditinggal mati induknya. Dalam lapar dan kepanasan, seekor bayi kakak tua dipungut seorang pemburu yang kebetulan lewat. Seekor lagi dipungut seorang pendeta tak jauh dari asrama nan indah dan asri.
Kedua bayi burung itu dipelihara semang yang berbeda. Yang satu dipelihara seorang pemburu, di mana saban hari kerjanya hanya mendamprat dengan kata-kata kejam: bunuh, kuliti, potong, terkam, dan sebagainya. Burung kakak tua yang satu lagi dipelihara orang suci bijak bestari, yang tiap hari hanya mengucapkan kata-kata kebaikan: cinta, kasih sayang, mari berteduh. Dan kakak tua tergolong burung yang mudah diajar ucapan apa saja, tergantung kebiasaan induk semangnya.
Bertahun-tahun dipelihara, bayi burung ini pun tumbuh dewasa. Kedua-duanya pandai menyerap kebiasaan sang pemelihara, maka bertumbuhlah dua burung ini dalam dunia yang berbeda. Syahdan seorang penjahat lari ke tengah hutan hendak menyelamatkan hidup. Setelah berlari sekian jauh, dengan nafas ngos-ngosan, sang penjahat menghampiri rumah pemburu. Begitu mengetuk pintu, burung kakak tua langsung mendamprat, “Kejar, bunuh, kejar, bunuh.” Tanpa berpikir panjang hendak menyelamatkan nyawa, penjahat ini langsung lari ketakutan.
Sang penjahat mengumpulkan sisa-sisa nafasnya, ia berlari sempoyongan, lapar, haus, dan rasa takut menyelimuti hatinya. Tak seberapa lama, ia masuk ke sebuah pondok nan asri, bunga-bunga tengah bermekaran, aliran air jernih gemericik, pohon-pohon merindang hijau, dan udara pun terasa sejuk. Tiba-tiba sang pejahat mendengar sapaan halus, “Anaku mari berteduh, sudi mampir ke pondok kami,” demikian burung kakak tua berceloteh. Tuan rumah, yang seorang pendeta belum juga muncul, terlihat dia tengah khusuk beryoga. Entah kenapa perasaan penjahat itu tiba-tiba jadi teduh, rasa takut berangsur sirna.
Di amben pondok, tak jauh dari burung kakak tua bertenger, sang penjahat tercenung, “Tadi di rumah seorang pemburu, kenapa burung kakak tua itu bisa berkata-kata kejam: bunuh, kejar, bunuh. Namun di sini, di rumah seorang pendeta, burung itu menjadi sedemikian ramah, menyapa dengan dengan sejuk ,” pikir sang penjahat. Tiba-tiba pendeta berjumbah coklat tua muncul, “Nak minum dulu, kalian pasti lelah, haus dan lapar. Istirahatlah di sini, jika mau tinggallah di pondok ini. Kami senang kalian bisa datang,” tukas sang pendeta teduh.
Sang penjahat tiba-tiba tersadar. Betapa kejahatan yang dilakukan selama ini dikondisikan oleh keadaan dan pergaulan. Sejak kecil bergaul dengan penjahat, dan ia pun tumbuh jadi pejahat. Pergaulan bisa mengubah tabiat seseorang, tentu. Sang penjahat menyadari, bahwa selama ini ia telah merawat bibit kejahatan di hati. Memang ada banyak bibit tertanam di benak, ada bibit kebaikan, olas asih, kejujuran, begitu pun bibit kemarahan, kekejaman, kedengkian, dan sebagainya. Masalahnya, bibit mana yang akan Anda rawat? Bila Anda merawat bibit kedengkian, maka Anda pun bertumbuh jadi seorang pendengki. Bila Anda merawat perasaan perasaan kejam, tak mustahil kekejaman akan menyelimuti hati Anda.
Hati ini ibarat ladang luas terbentang. Di sana bisa tumbuh beraneka tabiat, tak kecuali tabiat jahat. Karenanya hati ini pun perlu dirawat dengan baik, ibarat menyiangi tanaman di ladang, jika Anda mau tanaman keutamaan tidak terganggu, bisa tumbuh subur di ladang luas bernama hati, sebaiknya rajin-rajinlah menyiangi tanaman liar di hati. Dengan demikian, tanaman keutamaan pun akan tumbuh subur. Mpu Kanwa, pengarang kakawin Arjunawiwaha mengibaratkan hati ini tak ubah jun penuh air. Dalam setiap jun berisi air jernih akan terlihat bayangan bulan. Akan tetapi jika air di jun itu keruh, bayangan bulan tidak mungkin terlihat. Memang pada setiap air yang tergenang pasti terdapat bayangan bulan, soalnya kemudian apakah air itu keruh atau bening. Mpu Kanwa cuma mengingatkan, hanya pada jun berair jernih bayangan bulan tampak.
Jun itu ibarat benak, tentu. Dalam benak mereka yang keruh tidak mungkin ada kebeningan. Pada hati mereka yang keji tidak mungkin ada olas asih. Karenanya betapa hati ini perlu dibersihkan, dirawat senantiasa. Caranya: menjauhkan bibit kejahatan itu bertumbuh di hati. Pergaulan, kebiasaan buruk adalah jalan di mana orang bisa terjebak, terhalang dalam penumbuhan sifat-sifat baik. Bagawan Wararuci, penulis kitab Sarasamuccaya sejak awal telah mengingatkan hal ini, karena betapa dalam pergaulan itu orang dengan mudah terseret dalam arus gelap, di mana hati dikeruhkan debu keburukan. “Maka hendaklah orang berbudi luhur saja yang menjadi kawan Anda,” tulis Wararuci.
“Rasa itu adalah benih, dan pikiran adalah buahnya,” tulis Jalaludin Rumi, penyair tersohor kelahiran Afganistan. Memang, rasa apapun yang terkondisi di hati mudah muncul dalam pikiran dan perbuatan. Karena alasan inilah hati perlu dirawat senantiasa. Para tetua Bali mengibaratkan hati itu tak ubahnya kembang bunga padma— yang selalu tumbuh mekar di hati setiap orang. Karenanya muncul istilah bungan keneh, bunga hati yang senantiasa tersenyum segar. Di puncak itu, ketulusan, kebaikan, kesabaran, cinta kasih, adalah bunga-bunga hati yang menyebabkan hidup selalu tersenyum. Orang Bali lalu menyebutnya sebagai: puspa tan alum, bunga yang tak pernah layu.

Comments :

0 comments to “Kisah Dua Burung Atat”

Posting Komentar

Bali Ceremoni 1936


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Urban Designs